Senin, 24 Februari 2014

"Judule Opo"

Rasanya "kikuk" juga ya... mulai ngeblog lagi, setelah lama vakum ngga ngeblog lagi... jadi seperti 'pemula' lagi... abis udah lupa bangedh seh caranya ngeblog... ini pengen muncul lagi kayaknya hobby 'menulis'ku mulai kambuh lagi dan inilah tempat 'penyalurannya' ha ha ... ga bangedh yach.... weitz wis pengen nulis koq... mendadak ada undangan yang harus dihadiri yach (gayane' sok sibuk.... yo ben) besok atau ntar aza dech nulis lagi... :)

Kamis, 17 Maret 2011

Teplok



“Teplok” adalah sebuah kata yang sederhana, kata benda dalam bahasa jawa, yang merupakan sebuah alat penerangan dengan bahan bakar minyak tanah. Ada kisah dibalik benda bernama ‘teplok’ ini.
Sore itu, cuaca begitu cerah, semburat warna jingga berpendar dari sinar sang surya yang malu-malu hendak bersembunyi dan bersiap untuk beristirahat sejenak, menjelang malam nanti. Aku baru saja memasuki rumah kecilku, letih, lelah kulepaskan sepulang kerja dengan segala penat, sejenak menikmati sofa usangku di ruang tamu sambil menikmati keceriaan si kecil bermain bola di teras rumah. Kulihat di belakang nampak suamiku yang sedari tadi sudah sampai di rumah sibuk dengan pekerjaan rutinnya memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci. Maklum kami tak ada pembantu di rumah, pekerjaan rumah tangga pun kami kerjakan bersama-sama.
Tok-tok-tok, tiba-tiba terdengar ketukan dari arah pintu belakang yang kebetulan terbuka, seorang nenek, tetangga belakang rumah mengetuk pintu belakang rumah, suamiku yang kebetulan ada di dekat pintu menghampiri dan menyapa dengan logat jawanya, “wonten punapa mbah?” (“Ada apa Nek?”). Jawab si nenek tetangga, “nak mas gadhah lampu teplok boten?” (Mas punya lampu teplok tidak?). “Oh wonten sekedhap kula pundhutaken”, (sebentar, saya ambilkan dulu) jawab suamiku sembari mengambil satu-satunya teplok yang masih tergantung di tembok dapur. Teplok itu sudah terlalu usang bahkan kotor, karena lama teplok itu tidak kami gunakan, kecuali jika terjadi pemadaman listrik di PLN, itupun kalau berminat menyalakannya. Aku yang mendengar pembicaraan itu bangkit dari sofaku melihat apa yang dilakukan suamiku dengan teplok itu. “Kula ngampil teploke’ nggih mas” (saya pinjam teploknya ya mas) kata si nenek dengan serta merta menerima teplok itu. Kulihat mata si nenek berbinar-binar .“Nggih diagem mawon Mbah” (ya dipakai saja nek) sahut suamiku. Dari mulutnya yang mulai mengeriput karena usia tuanya, si nenek mengucapkan kata “maturnuwun” (terimakasih). Bak menemukan harta karun, si nenek kegirangan menerima teplok usang dari kami. Aku dan suami saling bertatap heran dengan tingkah laku si nenek. Dari pintu belakang rumah kami, kulihat nenek itu saking semangatnya dengan teplok itu, serta merta merobek bagian bawah ‘jarik’-nya (jarik: kain panjang bermotif batik yang biasa dipakai perempuan jawa/nenek) untuk mengelap dan membersihkan teplok kotor itu. Kami berharap teplok itu masih bisa berfungsi karena memang lama sudah tidak kami gunakan. Di depan rumah si nenek yang terbuat dari bambu atau sering disebut ‘gedheg’ si nenek sedang asyiknya membersihkan teplok itu seolah menemukan harta yang paling berharga di dunia ini. Aku pun menatap iba dan “trenyuh” (tersentuh) dengan apa yang dilakukan si nenek. Rumah si nenek yang berdinding bambu (gedheg) dan berlantaikan tanah, memang akhir-akhir ini nampak gelap, tanpa alat penerangan. Dan kulihat tiba-tiba si nenek masuk ke rumahnya, mengambil lampu ‘senthir’ (alat penerangan semacam teplok, yang terbuat dari botol kaca bekas diberi sumbu diatasnya) buatannya sendiri dari dalam rumah yang nampaknya sudah pecah untuk dibawa keluar. Oh Ternyata itulah sebabnya si nenek kebingungan mencari alat penerangan lain sebagai penggantinya. Ternyata teplok usang yang selama ini kuanggap kurang berguna buat kami, begitu sangat berharganya buat si nenek. Tak terasa mataku berkedip-kedip ada air mata yang mau keluar dari sudut mataku, yang manatap haru dengan apa yang dilakukan si nenek.
Sementara di seberang rumah si nenek berdiri dengan ‘angkuh’ rumah berlantai dua, tanah dimana rumah itu berdiri adalah milik si nenek yang telah diwariskan kepada anaknya si pemilik rumah berlantai dua tersebut. Aku jadi teringat sehari sebelum si nenek meminjam teplok kami, si nenek pernah pula mengetuk rumah itu yang tak lain adalah rumah anaknya sendiri, meminta adakah teplok yang bisa dia pinjam untuk sekedar menerangi rumah gubuknya. Jawab si anak “ora ono’ (tidak ada), si nenek pun pulang denga tangan hampa. Oh sebegitu teganya si anak, tak maukah meminjamkan atau jauh lebih baik jika membelikan teplok buat si nenek, ibu kandungnya sendiri? Atau jika memang dia peduli tak bisakah sekedar memasangkan saluran aliran listrik di rumah si nenek. Timbul pertanyaan dalam hatiku, sebegitukah dia berlaku terhadap si nenek yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri ? Ibu yang telah melahirkannya, Ibu yang telah merawatnya sejak kecil, ibu yang telah membesarkannya, Ibu yang telah memberikan kasih sayangnya, Bahkan ibu yang telah memberikan kenyamanan yang dinikmatinya sekarang? Tanah luas yang diwariskan kepadanya, hingga bisa dia bangun rumah megah itu? Sudah lupakah dia? Atau silaukah dengan keduniawian ? Tak terasa ada setitik air mata ku yang tak terbendung keluar, kuusap kedua pipiku yang telah basah karenanya.
Tuhan jangan biarkan sifat-sifat itu tumbuh di hati kami, Ingatkanlah kami untuk selalu menghormati dan menyayangi orang tua kami, apapun keadaan mereka, orang tua adalah anugerah terindah buat kami. Dan Ketuklah hati mereka Tuhan, yang telah lupa dari mana mereka berasal, yang telah lupa akan orang tuanya sendiri dan bagaimana mereka bisa mensyukuri nikmat yang mereka peroleh dengan berbagi kepada sesama. Amien. (Ratrie)

Sabtu, 22 Mei 2010

Tips

Tips

Tips

Tips

Bila Ibu Boleh Memilih



Anakku...
Bila ibu boleh memilih
Apakah ibu berbadan langsing atau berbadan besar
karena mengandungmu
Maka
ibu akan memilih mengandungmu?
Karena dalam mengandungmu
ibu merasakan keajaiban dan kebesaran Allah
Sembilan bulan nak...
Engkau hidup di perut ibu
Engkau ikut kemanapun ibu pergi
Engkau ikut merasakan ketika jantung ibu berdetak
karena kebahagiaan
Engkau menendang rahim ibu ketika engkau merasa
tidak nyaman, karena ibu kecewa dan berurai air mata
Anakku...
Bila ibu boleh memilih apakah ibu harus operasi
caesar, atau ibu harus berjuang melahirkanmu
Maka ibu memilih berjuang melahirkanmu
Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit
kelahiranmu
Adalah seperti menunggu antrian memasuki salah
satu pintu surga
Karena kedahsyatan perjuanganmu untuk mencari
jalan ke luar ke dunia sangat ibu rasakan
Dan saat itulah kebesaran Allah menyelimuti kita
berdua
Malaikat tersenyum diantara peluh dan erangan rasa
sakit,
Yang tak pernah bisa ibu ceritakan kepada siapapun
Dan ketika engkau hadir, tangismu memecah dunia
Saat itulah...
Saat paling membahagiakan
Segala sakit & derita sirna melihat dirimu yang merah,
Bila ibu boleh memilih apakah ibu berdada indah,
atau harus bangun tengah malam untuk menyusuimu,
Maka ibu memilih menyusuimu,
Karena dengan menyusuimu ibu telah membekali hidupmu
dengan tetesan-tetesan dan tegukan tegukan yang
sangat berharga
Merasakan kehangatan bibir dan badanmu didada ibu
dalam kantuk ibu,
Adalah sebuah rasa luar biasa yang orang lain
tidak bisa rasakan
Anakku...
Bila ibu boleh memilih duduk berlama-lama di ruang
rapat
Atau duduk di lantai menemanimu menempelkan puzzle
Maka ibu memilih bermain puzzle denganmu
Tetapi anakku...
Hidup memang pilihan...
Jika dengan pilihan ibu, engkau merasa sepi dan merana
Maka maafkanlah nak...
Maafkan ibu...
Maafkan ibu...
Percayalah nak, ibu sedang menyempurnakan puzzle
kehidupan kita,
Agar tidak ada satu kepingpun bagian puzzle
kehidupan kita yang hilang
Percayalah nak...
Sepi dan ranamu adalah sebagian duka ibu
Percayalah nak...
Engkau adalah selalu menjadi belahan nyawa ibu...

(Lirik Ratih Sang - Bila Ibu Boleh Memilih)

Rabu, 19 Mei 2010

Pidato Pengukuhan Pustakawan Utama RI

Pidato Pengukuhan Pustakawan UtamaRI

Perpustakaan dan "Educare"



Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan disebutkan bahwa masyarakat dapat menyelenggarakan perpustakaan umum untuk memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Pemerintah Kota Yogyakarta, turut mendukung berdirinya perpustakaan-perpustakaan baru di tengah-tengah masyarakat dan mendorong berkembangnya perpustakaan masyarakat, serta melalui Perpustakaan Kota Yogyakarta memberikan pembinaan dalam pengelolaannya. Perpustakaan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan istilah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) telah banyak berdiri hampir di masing-masing RW di wilayah Kota Yogyakarta.
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dalam menjalankan fungsinya sebagai penyedia informasi (bahan bacaan) bagi masyarakat sekitarnya menuju masyarakat pembelajar sepanjang hayat tak lepas dari kendala seperti enggannya masyarakat datang ke perpustakaan. Apa yang membuat orang enggan datang ke perpustakaan dapat diubah menjadi daya tarik ‘tempat belajar’. Tempat belajar tidak harus sepi dan sunyi, tempat belajar dapat ceria, penuh kegembiraan, terbuka, selaras dengan denyut kehidupan masyarakat. Sengaja dimunculkan istilah ‘tempat belajar’, bukan semata-mata mengubah sebuah konsep tentang perpustakaan. Secara fisik, tempat belajar adalah tempat seperti halnya perpustakaan, namun lebih dari itu, ‘tempat belajar’ dapat juga berwujud sebagai sebuah ‘kegiatan’ atau bisa dikatakan perpustakaan masyarakat yang dinamis. Tempat belajar ibarat perpustakaan yang hidup yang menyediakan informasi tidak hanya dari koleksi saja, namun juga dari sesama pengguna dan terutama dari aktivitas layanan yang diciptakan. Belajar, menurut asal katanya ‘educare’ yang berarti menggiring keluar (inside out). Belajar, tidak hanya memasukkan berbagai informasi ke dalam diri (outside in), namun juga menjadikan apa yang ada dalam diri keluar menjadi tuturkata, sikap, perilaku, ketrampilan, keahlian dan apa saja yang dibutuhkan manusia dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Pada dasarnya perpustakaan itu sendiri adalah ‘tempat belajar’, hanya saja selama ini belum banyak yang mengetahuinya, karena terbatasnya bentuk layanan perpustakaan. Oleh karena itu yang terpenting adalah mengembangkan layanan perpustakaan masyarakat, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat setempat menjadi manusia pembelajar. Dalam sebuah perpustakaan masyarakat, selain anak-anak meminjam dan membaca buku, diadakan kegiatan belajar bersama, seperti les tambahan pelajaran matematika, bahasa inggris dan mata pelajaran lainnya yang dirasa sulit, atau bahkan diadakan kegiatan les tari, karawitan, atau kegiatan lain yang menarik minat masyarakat. ‘Garden party’ atau pesta kebun tak kalah menariknya bagi anak-anak, dimana anak-anak diajak untuk pesta kebun dengan membawa bekal masing-masing dengan dibacakan sebuah dongeng dari salah satu koleksi yang dimiliki perpustakaan, akan lebih menggairahkan dan memberikan nuansa baru bagi anak-anak dalam menikmati informasi yang disajikan oleh perpustakaan yang dikemas dalam ‘kemasan’ yang lebih menarik. Atau bahkan dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan lain seperti diskusi mengenai topik sebuah buku, berbagai lomba, seperti lomba perpustakaan keluarga, lomba mendongeng, lomba menceritakan kembali isi cerita dari sebuah buku, lomba tebak judul buku dan sebagainya.
Yang menjadi tantangan bagi sebuah perpustakan adalah bagaimana menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat, dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan lebih mendorong tumbuhnya masyarakat pembelajar. Perpustakaan menjadi tempat bertemunya orang-orang yang berilmu dan haus akan ilmu baru. Jadikan perpustakaan sebagai sarana bagi lahirnya kehidupan untuk perpustakaan sendiri dan sebagai tempat berlangsungya interaksi para pengguna/pemustakanya dengan berbagai kegiatan yang bermuara pada masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Demikian perpustakaan masyarakat, diharapkan bisa menjalankan fungsi sebik-baiknya menuju masyarakat pembelajar sepanjang hayat.(oleh Ratri Suci N, Pradipta, Januari 2010)

Masyarakat Membaca, Masyarakat Merdeka



Seperti tertuang dalam UUD 1945 salah satu tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, telah diupayakan secara nyata dalam dunia pendidikan. Program wajib belajar 9 tahun diupayakan pemerintah guna meningkatakan kualitas pendidikan di Indonesia, yang dibarengi dengan pembinaan minat baca masyarakat.

Tak henti-hentinya pemerintah menghimbau pembudayaan minat baca masyarakat di segala lapisan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa membaca belum membudaya di Indonesia, diantaranya adalah membaca masih dianggap sebagai keterpaksaan. Seperti terlihat di saat menjelang musim ujian dan karena mengerjakan suatu tugas akhir atau skripsi, perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan perguruan tinggi akan ramai dikunjungi oleh para murid dan atau mahasiswanya. Buku akan banyak dibaca menjelang masa-masa ujian maupun pada saat ada PR (Pekerjaan Rumah). Di kala senggang, buku belum menjadi pilihan untuk dibaca, masyarakat lebih memilih menonton televisi, dan menikmati berbagai acara yang disuguhkan, sehingga tak mengherankan jika akhir-akhir ini telah tumbuh berbagai televisi swasta.
Mahalnya harga buku masih menjadi alasan bagi masyarakat untuk tidak membeli buku. Bagi sebagian besar masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih sulit, apalagi untuk membeli buku. Sebenarnya hal ini tidak sepenuhnya menjadikan alasan untuk tidak membaca buku, pemerintah telah menyediakan fasilitas baca umum dengan mendirikan perpustakaan umum di berbagai daerah bahkan telah merambah hingga tingkat desa dan RW. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana peran serta perpustakaan itu sendiri dalam mendorong masyarakat untuk membaca.

Di sebagian besar negara maju seperti Jepang dan Amerika, membaca sudah menjadi budaya, walaupun ditengah-tengah hiruk-pikuknya kemajuan teknologi mereka. Sebenarnya kemajuan teknologi yang mereka hasilkan adalah merupakan akibat dari banyaknya membaca buku. Pengetahuan, mereka dapat dengan membaca buku dari penemu-penemu maupun peneliti-peneliti sebelumnya dan berusaha untuk mengkaji ulang dan mengembangkannya sehingga terciptalah teknologi baru yang lebih canggih dari generasi sebelumnya, begitu seterusnya. Sebaliknya masyarakat yang enggan membaca, bisa dikatakan masyarakat yang enggan untuk berkembang. Yang memprihatinkan dalam kultur budaya di Indonesia, budaya membaca belum menjadi suatu kebiasaan. Mereka lebih memilih sebagai pengguna dan pemburu teknologi canggih produk dari negara maju tersebut, bukan sebagai pencipta dari teknologi tersebut. Tanpa disadari sebenarnya masyarakat Indonesia masih ‘terjajah’ oleh teknologi canggih mereka. Sebagai contoh mereka berlomba-lomba untuk mengganti handphone dengan produk yang lebih canggih seperti blackberry yang pada saat ini masih menjadi trend, atau mengganti mobil lama dengan mobil baru yeng lebih canggih yang menawarkan fasilitas dengan fitur yang eksklusif, dan masih banyak lagi contoh lainnya yang hanya akan menambah devisa atau memperkaya mereka. Jika ditelusuri, barang-barang tersebut merupakan produk import dari negara yang lebih maju. Dan jika dikaji lebih dalam, mengapa mereka bisa lebih maju ? Jawabannya adalah Buku, Mengapa ? Karena mereka banyak membaca buku, bahkan buku sudah menjadi ‘nafas’ bagi kemajuan teknologi mereka.


Sebagai bahan perenungan bagi kita, jika kita tak ingin selamanya ‘terjajah’ oleh teknologi canggih negara maju, mengapa tidak dari sekarang kita merebut kembali ‘kemerdekaan’ kita. Semua itu dimulai dengan membaca. Budayakan membaca sebagai kebutuhan dan ‘makanan pokok’ dalam kehidupan sehari-hari. Jadikan kita sebagai Masyarakat “membaca”, menuju masyarakat “merdeka”.(Oleh Ratri Suci N., Pradipta, Agustus 2009)

Ilmu, Dibayar Pakai Daun


Ilmu, tentunya mengandung muatan pengetahuan, sedangkan pengetahuan sendiri dapat diperoleh baik secara kontekstual maupun secara tekstual. Pengetahuan tekstual digali dari sumber-sumber yang tertuang dalam sebuah media diantaranya media cetak termasuk buku. Untuk mendapatkan ilmu ataupun pengetahuan, haruskah dilakukan dengan membeli sebuah buku ? Bagi yang ber’kantong’ tebal, “it’s not problem”, “why not ?” Tetapi bagaimana dengan yang ber’kantong’ tipis ? Kendala seperti ini seringkali muncul, bagimana solusinya ? Dapat dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh Pemerintah seperti perpustakaan umum yang berdiri di masing-masing daerah baik kota, kabupaten maupun propinsi yang menyediakan berbagai sumber informasi dan sumber ilmu termasuk buku sebagai medianya. Itulah kenapa untuk memperoleh ilmu tidak harus dengan mengeluarkan biaya yang mahal.
Sebaliknya, bagaimana jika ingin membagikan atau ‘share’ ilmu yang dimiliki ? Untuk membagikan ilmu tidak harus menjadi seorang guru, dosen, pengajar, penulis atau praktisi pendidikan yang berkompeten di bidangnya. Dengan membagikan atau ‘share’ buku yang dimiliki pun sudah dapat dikatakan membagikan ilmu. Sebuah buku mengandung suatu informasi dan pengetahuan sebagai kesatuan yang disebut ilmu. Sehingga dapat dikatakan bahwa siapapun dapat membagikan ilmunya dalam bentuk buku atau dalam bentuk media lain kepada orang lain atau masyarakat yang lebih membutuhkan.
Menyikapi hal tersebut diatas, Perpustakaan Kota Yogyakarta mencanangkan sebuah program yang disebut sebagai “Bank Buku”. Perpustakaan Kota berperan sebagai fasilisator yang bertindak sebagai lembaga yang menerima, menghimpun dan mengumpulkan bagi masyarakat yang ingin membagikan ilmunya dalam bentuk buku, sekaligus bertindak sebagai yang mendistribusikan buku-buku tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan. Buku-buku tersebut akan di distribusikan kepada masyarakat melalui perpustakaan-perpustakaan komunitas atau perpustakaan masyarakat, sering dikenal dengan istilah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang hampir tersebar di setiap kelurahan dan atau RW di wilayah Kota Yogyakarta. Dalam hal ini, Perpustakaan Kota berperan layaknya sebuah ‘bank’, namun bukanlah ‘bank’ seperti pada umumnya yang mengelola distribusi uang, melainkan suatu ‘bank’ yang memiliki ke’khas’annya sendiri, yang mengelola distribusi buku.
Istilah ‘daun’ seperti yang tercetus dalam judul diatas, bukanlah mengandung makna daun secara harafiah atau sesungguhnya, namun adalah singkatan dari dua suku kata yaitu “da” dan “un”, yang bermakna “dari” dan “untuk”. Artinya bahwa buku yang berasal “dari” masyarakat, dikumpulkan dan dihimpun oleh Perpustakaan Kota yang berperan sebagai lembaga “Bank buku” selanjutnya akan di disebarluaskan atau di distribusikan kembali “untuk” masyarakat. Sehingga dengan sistem ‘daun’ pun masyarakat bisa memperoleh ilmu yang dibutuhkan. “Ilmu, dibayar pakai daun”, bukanlah sebuah iklan yang ‘bombastis’, dengan hadirnya “Bank Buku” adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi.