Kamis, 17 Maret 2011

Teplok



“Teplok” adalah sebuah kata yang sederhana, kata benda dalam bahasa jawa, yang merupakan sebuah alat penerangan dengan bahan bakar minyak tanah. Ada kisah dibalik benda bernama ‘teplok’ ini.
Sore itu, cuaca begitu cerah, semburat warna jingga berpendar dari sinar sang surya yang malu-malu hendak bersembunyi dan bersiap untuk beristirahat sejenak, menjelang malam nanti. Aku baru saja memasuki rumah kecilku, letih, lelah kulepaskan sepulang kerja dengan segala penat, sejenak menikmati sofa usangku di ruang tamu sambil menikmati keceriaan si kecil bermain bola di teras rumah. Kulihat di belakang nampak suamiku yang sedari tadi sudah sampai di rumah sibuk dengan pekerjaan rutinnya memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci. Maklum kami tak ada pembantu di rumah, pekerjaan rumah tangga pun kami kerjakan bersama-sama.
Tok-tok-tok, tiba-tiba terdengar ketukan dari arah pintu belakang yang kebetulan terbuka, seorang nenek, tetangga belakang rumah mengetuk pintu belakang rumah, suamiku yang kebetulan ada di dekat pintu menghampiri dan menyapa dengan logat jawanya, “wonten punapa mbah?” (“Ada apa Nek?”). Jawab si nenek tetangga, “nak mas gadhah lampu teplok boten?” (Mas punya lampu teplok tidak?). “Oh wonten sekedhap kula pundhutaken”, (sebentar, saya ambilkan dulu) jawab suamiku sembari mengambil satu-satunya teplok yang masih tergantung di tembok dapur. Teplok itu sudah terlalu usang bahkan kotor, karena lama teplok itu tidak kami gunakan, kecuali jika terjadi pemadaman listrik di PLN, itupun kalau berminat menyalakannya. Aku yang mendengar pembicaraan itu bangkit dari sofaku melihat apa yang dilakukan suamiku dengan teplok itu. “Kula ngampil teploke’ nggih mas” (saya pinjam teploknya ya mas) kata si nenek dengan serta merta menerima teplok itu. Kulihat mata si nenek berbinar-binar .“Nggih diagem mawon Mbah” (ya dipakai saja nek) sahut suamiku. Dari mulutnya yang mulai mengeriput karena usia tuanya, si nenek mengucapkan kata “maturnuwun” (terimakasih). Bak menemukan harta karun, si nenek kegirangan menerima teplok usang dari kami. Aku dan suami saling bertatap heran dengan tingkah laku si nenek. Dari pintu belakang rumah kami, kulihat nenek itu saking semangatnya dengan teplok itu, serta merta merobek bagian bawah ‘jarik’-nya (jarik: kain panjang bermotif batik yang biasa dipakai perempuan jawa/nenek) untuk mengelap dan membersihkan teplok kotor itu. Kami berharap teplok itu masih bisa berfungsi karena memang lama sudah tidak kami gunakan. Di depan rumah si nenek yang terbuat dari bambu atau sering disebut ‘gedheg’ si nenek sedang asyiknya membersihkan teplok itu seolah menemukan harta yang paling berharga di dunia ini. Aku pun menatap iba dan “trenyuh” (tersentuh) dengan apa yang dilakukan si nenek. Rumah si nenek yang berdinding bambu (gedheg) dan berlantaikan tanah, memang akhir-akhir ini nampak gelap, tanpa alat penerangan. Dan kulihat tiba-tiba si nenek masuk ke rumahnya, mengambil lampu ‘senthir’ (alat penerangan semacam teplok, yang terbuat dari botol kaca bekas diberi sumbu diatasnya) buatannya sendiri dari dalam rumah yang nampaknya sudah pecah untuk dibawa keluar. Oh Ternyata itulah sebabnya si nenek kebingungan mencari alat penerangan lain sebagai penggantinya. Ternyata teplok usang yang selama ini kuanggap kurang berguna buat kami, begitu sangat berharganya buat si nenek. Tak terasa mataku berkedip-kedip ada air mata yang mau keluar dari sudut mataku, yang manatap haru dengan apa yang dilakukan si nenek.
Sementara di seberang rumah si nenek berdiri dengan ‘angkuh’ rumah berlantai dua, tanah dimana rumah itu berdiri adalah milik si nenek yang telah diwariskan kepada anaknya si pemilik rumah berlantai dua tersebut. Aku jadi teringat sehari sebelum si nenek meminjam teplok kami, si nenek pernah pula mengetuk rumah itu yang tak lain adalah rumah anaknya sendiri, meminta adakah teplok yang bisa dia pinjam untuk sekedar menerangi rumah gubuknya. Jawab si anak “ora ono’ (tidak ada), si nenek pun pulang denga tangan hampa. Oh sebegitu teganya si anak, tak maukah meminjamkan atau jauh lebih baik jika membelikan teplok buat si nenek, ibu kandungnya sendiri? Atau jika memang dia peduli tak bisakah sekedar memasangkan saluran aliran listrik di rumah si nenek. Timbul pertanyaan dalam hatiku, sebegitukah dia berlaku terhadap si nenek yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri ? Ibu yang telah melahirkannya, Ibu yang telah merawatnya sejak kecil, ibu yang telah membesarkannya, Ibu yang telah memberikan kasih sayangnya, Bahkan ibu yang telah memberikan kenyamanan yang dinikmatinya sekarang? Tanah luas yang diwariskan kepadanya, hingga bisa dia bangun rumah megah itu? Sudah lupakah dia? Atau silaukah dengan keduniawian ? Tak terasa ada setitik air mata ku yang tak terbendung keluar, kuusap kedua pipiku yang telah basah karenanya.
Tuhan jangan biarkan sifat-sifat itu tumbuh di hati kami, Ingatkanlah kami untuk selalu menghormati dan menyayangi orang tua kami, apapun keadaan mereka, orang tua adalah anugerah terindah buat kami. Dan Ketuklah hati mereka Tuhan, yang telah lupa dari mana mereka berasal, yang telah lupa akan orang tuanya sendiri dan bagaimana mereka bisa mensyukuri nikmat yang mereka peroleh dengan berbagi kepada sesama. Amien. (Ratrie)